Semakin berkembangnya pendidikan, maka semakin beragam pula lembaga pendidikan yang bermunculan. Ini merupakan gambaran abad 21, dimana lembaga pendidikan swasta berbondong-bondong melakukan manuver untuk mendapatkan hati masyarakat di bidang pendidikan. Kehadiran pihak swasta mendirikan lembaga pendidikan, sudah pasti mempunyai visi dan misi serta tujuan yang tersurat maupun tersirat. Tujuan yang jelas, sudah barang tentu ingin ikut serta memajukan pendidikan Indonesia bersama komponen-komponen pendukung lain.
Akan tetapi, masalah yang sering menonjol adalah, lembaga pendidikan hanya sekedar komersialisasi pendidikan sebagai ladang mata pencaharian. Meskipun pihak pendiri tidak mempunyai basis bidang pendidikan sama sekali. Ini sungguh ironi. Pelopor lembaga pendidikan yang bergelut bertahun-tahun di pendidikan pun belum tentu bisa, apalagi orang yang tidak pernah menggeluti dunia pendidikan sama sekali. Hanya bermodalkan lembaran rupiah sebagai modal awal, lantas kemudian menyetir pihak ketiga untuk dijadikan sebagai karyawan pendidikan.
Memang, sarana harus ditukar dengan gambar Soekarno-Hatta. Ini sudah jadi hukum alam. Tetapi harus berbanding lurus dengan apa yang didapat peserta didik dan orang tuanya. Jangan sampai hanya kepuasan fisik bangunan dan sarana yang terasa. Tetapi pendidikan moral dan budi pekerti mereka abaikan, demi mendapatkan julukan Sekolah Unggulan. Komersialisasi pendidikan secara berlebihan akan membelokkan tujuan pendirian lembaga pendidikan ke arah yang sesat. Mengapa? Loh tujuannya saja sudah jelas, orientasi mereka hanya uang. Jadi apapun yang direncanakan dan dilaksanakan, ya berkutat pada uang sebagai objek proses dan hasil lembaga pendidikan tersebut. Ini yang menjadi ketakutan masyarakat.
Kehadiran lembaga pendidikan mestinya mampu memecahkan masalah di tengah masyarakat, bukan memperkeruh. Kehadiran lembaga pendidikan mestinya menjawab tantangan masyarakat, bukannya menjawab pertanyaan dengen berjuta ketandatanyaan. Pendidikan di masyarakat seyogyanya tidak disekat-sekat dengan nilai rupiah, kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas. Ini hanya akan memunculkan masalah baru di tengah masyarakat dan dunia pendidikan. Jadi seolah-olah peserta didik yang sekolah di lembaga pendidikan kelas atas, otaknya merasa lebih jauh di atas rata-rata. Orang tua yang menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan kelas atas, seolah merasa paling eksekutif dan berkata: “uang saya adalah gambaran pendidikan anak saya”. Padahal itu keliru.
Tak henti sampai disitu, komersialisasi pendidikan pun jauh lebih pragmatis ketika lembaga pendidikan memungut biaya selangit yang tidak sama sekali terjangkau oleh masyarakat. Meskipun “ada uang ada barang”, “ada biaya pendidikan ada sarana yang menunjang”. Tetapi sekali lagi, ini hanya akan memunculkan masalah baru di tengah masyarakat. Seolah pendidikan dan seisinya adalah barang jualan yang seenaknya diperjualbelikan. Padahal nasib anak bangsa dan karakternya dipertaruhkan.
Neni RohaeniApril 10, 2017 at 10:22
Sangat memprihatinkan…
Toto Si MandjaApril 10, 2017 at 19:09
memang begitulah realitanya…